Liqa’ dengan Allah Lewat Rasa

Views: 5

Liqa’ dengan Allah Lewat Rasa: Jalan Menembus Hijab Diri

Setiap insan memiliki kerinduan primordial akan Liqa’ — perjumpaan dengan Allah. Kerinduan ini adalah percikan ilahi yang ditanamkan dalam sanubari setiap jiwa, sebuah panggilan yang tak terucapkan untuk kembali kepada Sumber segala keberadaan. Namun, perjumpaan ini bukanlah perjalanan fisik yang diukur dengan langkah kaki, atau sebuah lompatan jasad melintasi ruang dan waktu. Ia adalah sebuah perjalanan batin, sebuah pendakian ruhani yang ditempuh:

Dengan rasa. Dengan ruh yang terbebas dari hijab diri.

Para arif billah, pewaris kearifan kenabian, telah lama mengajarkan hakikat perjumpaan ini. Mereka berbisik, “Barang siapa ingin cepat berjumpa dengan Kekasihnya, bunuhlah dirinya dan keluarlah dari kampung halamannya.” Ungkapan ini, meskipun terdengar drastis, mengandung rahasia agung dalam mencapai kedekatan Ilahi.


1. Mengapa Liqa’ Allah Harus Ditempuh dengan Rasa?

Mengapa rasa menjadi esensi dalam perjalanan menuju Allah? Karena Allah adalah Maha Pengasih dan Maha Penyayang, dan hubungan dengan-Nya tidak dapat direduksi menjadi sekadar ritual tanpa makna. Rasa adalah bahasa ruh. Tanpa rasa, ibadah hanya menjadi gerakan mekanis, dzikir hanya deretan kata, dan amal hanya formalitas tanpa ruh.

Rasa inilah yang akan:

  • Membuat shalat menjadi mi’raj — sebuah kenaikan jiwa yang melampaui batas dimensi, menghadirkan kita langsung di hadapan Tuhan.
  • Membuat dzikir menjadi lautan cinta — bukan sekadar pengulangan, melainkan gelombang kerinduan yang memenuhi hati.
  • Membuat amal menjadi jembatan kehadiran — setiap perbuatan baik menjadi wasilah untuk merasakan kedekatan-Nya.

Sebagaimana dikatakan, “Hidupkan amal dengan rasa, maka kau akan berjalan menuju Allah tanpa harus melangkah.” Ini adalah inti dari pertumbuhan batin, di mana setiap aspek kehidupan diresapi dengan kesadaran akan kehadiran Ilahi. Bahkan dalam latihan spiritual seperti “Follow The Line,” yang mungkin terlihat sekadar aktivitas fisik seperti menulis atau menggambar, sejatinya ia adalah jalan rasa. Setiap garis yang diikuti dengan ketelitian dan konsentrasi, jika disertai rasa kehadiran, adalah jalan kecil yang membimbing menuju Liqa’.


2. Dalil Qur’an tentang Keluar dari Diri dan Dunia

Konsep “membunuh diri” dan “keluar dari kampung halaman” memiliki dasar yang kuat dalam Al-Qur’an dan sunnah. Ini adalah metafora untuk sebuah transformasi batin, pelepasan dari belenggu ego dan duniawi.

Allah berfirman dalam Surah Al-Hashr ayat 19:

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنسَاهُمْ أَنفُسَهُمْ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hashr: 19)

Ayat ini secara gamblang menunjukkan bahwa melupakan Allah berujung pada kelupaan terhadap diri sendiri, yaitu kehilangan hakikat diri yang sejati. Ketika seseorang melupakan Tuhannya, ia kehilangan kompas batinnya, tenggelam dalam keinginan-keinginan fana, dan terputus dari sumber kebahagiaan sejati. Melupakan diri dalam konteks ini adalah terjebak dalam ilusi ego dan dunia, yang pada akhirnya menjauhkan dari Liqa’.

Kemudian, dalam Surah Al-Ankabut ayat 20, Allah berfirman:

قُلْ سِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانظُرُوا كَيْفَ بَدَأَ الْخَلْقَ “Katakanlah: ‘Berjalanlah di bumi, lalu perhatikanlah bagaimana Allah memulai penciptaan (makhluk).” (QS. Al-‘Ankabut: 20)

Secara lahiriah, ayat ini mengajak kita untuk menjelajahi bumi dan mengamati ciptaan-Nya. Namun, dalam makna tersirat, para mufassir dan sufi menafsirkannya sebagai perintah untuk berjalanlah keluar dari batas dirimu. Dengan mata batin, kita diajak untuk melihat dan merenungi setiap penciptaan sebagai manifestasi keagungan Allah, dan dengan demikian, kita menemukan asal penciptaan kita — yaitu Allah Swt. Ini adalah perjalanan dari yang terbatas menuju yang tak terbatas, dari diri yang fana menuju Zat yang Abadi.


3. Makna Membunuh Diri: Fana’ dalam Cinta Ilahi

Konsep “membunuh dirimu” adalah inti dari ajaran spiritual yang mendalam. Ia bukan tentang melukai tubuh, melainkan tentang fana’ (penghancuran) ego dan kesadaran diri yang sempit. Ini berarti:

  • Membunuh ego: Menghancurkan rasa “aku” yang arogan, yang merasa memiliki kuasa dan kehendak mutlak. Ego adalah hijab terbesar antara hamba dan Tuhannya.
  • Membunuh rasa memiliki: Melepaskan genggaman terhadap harta, kedudukan, atau bahkan orang-orang yang kita cintai, menyadari bahwa segala sesuatu adalah pinjaman dari Allah.
  • Membunuh rasa ‘aku’ dan segala keakuan: Menyadari bahwa keberadaan diri hanyalah bayangan dari Keberadaan Mutlak Allah. Ini adalah pengakuan total akan ketiadaan daya dan kekuatan diri di hadapan-Nya.

Para sufi sering mengistilahkannya dengan “Mati sebelum mati.” Ini adalah mati dari dunia, mati dari hawa nafsu, mati dari keterikatan ego sebelum ruh meninggalkan jasad. Ketika ego sirna, yang tinggal hanyalah:

  • Rasa butuh: Kesadaran akan ketergantungan mutlak kepada Allah.
  • Rasa rindu: Kerinduan murni dan tak terbatas kepada Sang Kekasih Sejati.
  • Rasa tenggelam dalam kehadiran-Nya: Sebuah kondisi di mana hati sepenuhnya dipenuhi oleh kesadaran akan kehadiran Allah, tanpa ada ruang untuk hal lain.

Dalam konteks Al-Qur’an, perintah “bunuhlah dirimu” (فَٱقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ) juga dapat ditemukan dalam Surah Al-Baqarah ayat 54, terkait dengan taubat Bani Israil setelah menyembah anak sapi:

وَإِذْ قَالَ مُوسَىٰ لِقَوْمِهِۦ يَـٰقَوْمِ إِنَّكُمْ ظَلَمْتُمْ أَنفُسَكُم بِٱتِّخَاذِكُمُ ٱلْعِجْلَ فَتُوبُوٓا۟ إِلَىٰ بَارِئِكُمْ فَٱقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌۭ لَّكُمْ عِندَ بَارِئِكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ “Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya: ‘Wahai kaumku, sesungguhnya kalian telah menzalimi diri kalian sendiri karena menjadikan anak sapi (sebagai sesembahan), maka bertaubatlah kepada Penciptamu dan bunuhlah dirimu; itu lebih baik bagimu di sisi Penciptamu, lalu Dia menerima taubatmu. Sesungguhnya Dia Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.'” (QS. Al-Baqarah: 54)

Meskipun secara lahiriah ayat ini merujuk pada taubat dan hukuman yang spesifik pada masa Bani Israil, dalam makna batin, ulama sufi menafsirkannya sebagai seruan untuk “matikan dirimu dari hawa nafsu, dari cinta dunia, dari keakuan.” Inilah esensi dari fana’ — sebuah kematian spiritual yang justru menghidupkan jiwa.


4. Keluar dari Kampung Halaman: Hijrah Batin

Setelah “membunuh diri,” langkah selanjutnya adalah “keluar dari kampung halaman.” Kampung halaman di sini bukanlah tempat geografis, melainkan adalah:

  • Kebiasaan buruk: Pola-pola perilaku negatif yang menghalangi pertumbuhan spiritual.
  • Zona nyaman hawa nafsu: Lingkungan yang memanjakan keinginan rendah dan menjauhkan dari tujuan Ilahi.
  • Dunia yang membius dengan kenikmatannya: Kemelekatan pada gemerlap dunia yang melalaikan dari hakikat kehidupan.

Keluar dari kampung halaman berarti hijrah batin. Ini adalah perpindahan dari kondisi kesadaran yang terbelenggu menuju kesadaran yang lebih tinggi. Ini melibatkan:

  • Meninggalkan kemelekatan pada dunia: Bukan berarti tidak memiliki apa-apa, melainkan tidak terikat pada apa yang dimiliki, menyadari bahwa semua adalah titipan.
  • Melepaskan diri dari keterikatan kepada selain Allah: Mengalihkan fokus utama dari segala sesuatu selain Allah, baik itu manusia, harta, atau bahkan pencapaian pribadi.

🌸 Liqa’ hanya bisa diraih ketika hati berani meninggalkan dunia, lalu berjalan menuju Allah. Ini adalah perjalanan seorang musafir ruhani yang meninggalkan segala yang fana demi mengejar yang Abadi.


5. Praktik Ruhani: Dzikir Fana

Untuk mencapai Liqa’ lewat rasa, diperlukan praktik ruhani yang mendalam, salah satunya adalah dzikir fana. Ini adalah dzikir yang melampaui batas kata, meresap ke dalam inti jiwa:

  1. Ambil waktu sejenak, sunyi: Cari tempat dan waktu di mana Anda bisa sepenuhnya terbebas dari gangguan eksternal. Kesunyian adalah prasyarat untuk mendengar bisikan batin.
  2. Pejamkan mata, buang semua selain Allah dari hati: Biarkan pikiran menjadi hening. Setiap kali ada pikiran atau kekhawatiran yang muncul, lepaskan dengan lembut, dan kembalikan fokus pada niat untuk bersama Allah.
  3. Tafakkur: Renungkan kelemahan diri, kefanaan keberadaan kita, dan betapa kecilnya kita di hadapan Kebesaran Ilahi. Ini akan menumbuhkan kerendahan hati dan rasa ketergantungan.
  4. Hadapkan hati sepenuhnya kepada Allah: Pusatkan seluruh kesadaran dan perasaan Anda pada-Nya. Rasakan kehadiran-Nya yang meliputi segala sesuatu.
  5. Ulangi dzikir: “Ya Hayyu, Ya Qayyum.” Dua nama Allah ini, “Yang Maha Hidup” dan “Yang Maha Berdiri Sendiri/Mengurus Segalanya,” adalah dzikir yang kuat. Ucapkan dengan perlahan, rasakan getaran maknanya dalam setiap sel tubuh. Biarkan setiap nafas menjadi dzikir.
  6. Rasakan diri sirna: Pada titik tertentu, dengan izin Allah, Anda mungkin mulai merasakan ego Anda menipis. Kesadaran “aku” sebagai entitas terpisah mulai memudar, dan yang tersisa hanyalah kesadaran akan Kehadiran-Nya.
  7. Biarkan rasa hadir, biarkan cinta mengalir: Ini adalah momen ketika rasa rindu, rasa damai, dan rasa cinta ilahi membanjiri hati. Biarkan ia mengalir tanpa hambatan, tanpa penilaian, dan tanpa keinginan untuk mengontrolnya.

🌸 Maka, rasa itu akan membimbingmu, sampai hijab dunia tersingkap, dan engkau berjumpa dengan-Nya.


6. Penutup

Liqa’ bukanlah tujuan akhir yang terpisah dari perjalanan. Ia adalah hasil dari proses pertumbuhan dan transformasi batin yang berkelanjutan.

“Liqa’ tidak akan pernah tercapai, selama engkau masih terpenjara dalam dirimu sendiri.” Ego, keakuan, dan kemelekatan duniawi adalah belenggu yang harus dilepaskan.

“Bunuhlah dirimu dengan fana, dan berangkatlah dari kampung hawa nafsumu, niscaya Kau akan berjumpa dengan-Nya di tengah perjalanan rasa.” Ini adalah undangan untuk sebuah petualangan spiritual yang paling agung, sebuah perjalanan pulang menuju Sumber segala Cinta.

🌸 Kutipan Reflektif: “Jangan mencari Allah di luar dirimu. Bersihkanlah dirimu, dan lihatlah: Dia telah lama menantimu.” Ini adalah inti dari seluruh ajaran, bahwa Allah selalu ada, menunggu kita untuk membersihkan hijab-hijab yang menghalangi perjumpaan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate »