Mengapa Nabi Muhammad ﷺ

Views: 2

Mengapa Nabi Muhammad ﷺ Dapat Menerima Wahyu dan Mencapai Sidratul Muntaha?

1. Karena Kesucian Jiwa yang Terjaga Sejak Awal

Salah satu sebab utama Nabi Muhammad ﷺ mampu menerima wahyu adalah kesucian jiwa beliau. Sejak kecil, beliau dikenal sebagai Al-Amin—orang yang dapat dipercaya, jujur, bersih dalam akhlak, dan tidak pernah terlibat dalam kemaksiatan masyarakat jahiliah. Bahkan sebelum diangkat menjadi nabi, hatinya telah dibersihkan oleh malaikat Jibril dalam peristiwa syarhul shadr (pembelahan dada), sebuah simbol bahwa hanya jiwa yang bersih dan hati yang lembut yang mampu menerima cahaya wahyu.

2. Ketekunan Dalam Bertafakur dan Beruzlah

Nabi Muhammad ﷺ bukan hanya suci secara fitrah, tapi juga aktif dalam mengosongkan diri dari hiruk pikuk dunia. Selama bertahun-tahun, beliau melakukan uzlah di Gua Hira untuk tafakur dan menyendiri dalam keheningan. Di sanalah ruang batin beliau dilatih untuk hening, jernih, dan siap menerima kalimat-kalimat Allah. Dalam psikologi spiritual, keheningan batin adalah prasyarat untuk menerima kesadaran tingkat tinggi.

“Sesungguhnya Kami akan menurunkan perkataan yang berat kepadamu.”
(QS. Al-Muzzammil: 5)

Wahyu tidak turun ke hati yang penuh hiruk pikuk. Hanya yang hening, siap, dan bersih, yang bisa menampung “perkataan yang berat” itu.

3. Ketundukan Total dan Kesiapan Psikospiritual

Nabi Muhammad ﷺ menunjukkan ketundukan mutlak kepada Allah, bahkan sebelum menerima risalah. Tidak ada perlawanan, tidak ada pertanyaan “mengapa aku”, hanya ketaatan yang penuh kerendahan hati. Bahkan saat menerima wahyu pertama kali, meski sempat ketakutan, beliau tidak menolak. Ini adalah bentuk kesiapan psikospiritual—jiwa yang siap tunduk, bukan sekadar cerdas intelektual.

4. Misi Kemanusiaan: Rahmatan Lil ‘Alamin

Allah memilih Nabi Muhammad ﷺ bukan hanya karena pribadinya, tapi juga karena misi yang beliau emban: menjadi rahmat bagi seluruh alam. Ketika misi seseorang adalah untuk memuliakan umat manusia, maka langit akan membuka pintunya. Sidratul Muntaha bukan sekadar titik tertinggi perjalanan fisik dalam Isra’ Mi’raj, tapi simbol bahwa manusia bisa mencapai puncak kesadaran ilahiyah bila membawa misi kasih sayang universal.

“Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.”
(QS. Al-Anbiya: 107)

5. Ikhtiar yang Konsisten dan Berlapis

Ikhtiar Nabi Muhammad ﷺ bukan sekadar jasmani, tapi mencakup:

  • Ikhtiar Ruhani: zikir, doa, uzlah, dan muhasabah.
  • Ikhtiar Sosial: memelihara amanah, menyambung silaturahmi, membantu fakir miskin.
  • Ikhtiar Keadilan: berdiri melawan kezaliman dan kesyirikan, bahkan saat sendirian.
  • Ikhtiar Cinta dan Kesabaran: membalas kebencian dengan kasih, dan tidak pernah mendoakan keburukan untuk umat yang menyakitinya.

6. Kesadaran dan Penyucian Hati: Kunci Sidratul Muntaha

Sidratul Muntaha bukan sekadar tempat dalam dimensi langit, tetapi simbol dari kesadaran puncak yang hanya bisa dicapai oleh hamba yang disucikan. Allah berfirman:

“Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.”
(QS. Al-Waqi’ah: 79)

Kesucian di sini bukan hanya fisik, tapi kesucian niat, pikiran, dan tujuan hidup. Nabi Muhammad ﷺ telah melewati semua lapisan duniawi untuk mencapai kehadiran di hadirat Allah, bukan dengan kendaraan biasa, tapi dengan Mi’raj—naik secara ruhani.


Penutup: Mi’raj Adalah Proses, Bukan Sekadar Peristiwa

Isra’ Mi’raj bukan sekadar mukjizat, tapi puncak dari proses panjang pendidikan jiwa, penyucian hati, dan konsistensi dalam mengabdi kepada Allah. Siapa pun yang meniti jalan seperti beliau—menjaga kesucian hati, istiqamah dalam ibadah, dan menjadikan hidup sebagai rahmat bagi sesama—maka ia pun akan meniti jalan menuju Sidratul Muntaha-nya sendiri.

Karena Allah tidak memandang siapa engkau, tapi sejauh mana hatimu mampu memantulkan cahaya-Nya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate »